Sabtu, 18 November 2017

contoh hukum pranata pembangunan

CONTOH HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Aplikasi atau contoh dalam Hukum Pranata Pembangunan seperti Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB adalah  perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum. Kewajiban setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Perda 7 Tahun 2009.
IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama.
Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB)


2. CONTOH KERJASAMA DALAM PROYEK PEMBANGUAN
di bawah ini merupakan contoh proyek pembangunan SMK Muhammadiyah klaten
  


  
     


 3. jelaskan tugas masing masing pelaku pembangunan

TUGAS KONSULTAN
Seorang arsitek rumah tentunya sudah di bekali dengan pendidikan, dimana seorang arsitek konsultan harus bisa menjelaskan dengan sejelas jelasnya tentang sebuah desain arsitektur yang di buatnya, alasan alasan mengapa disain arsitektur rumahnya seperti itu? Dan bagaimana mewujudkan desain arsitektur tersebut, apa resiko – resiko dari disain arsitektur rumah tersebut dan alasan – alasan lain yang telah di pikirkan arsitektur konsultan sebelumnya.
Dalam mengerjakan tugasnya seorang jasa arsitek sering di hadapkan oleh berbagai alasan orang memakai jasa si konsultan arsitektur tersebut, dankonsultan desain arsitek rumah tersebut harus membuat hasil karya berdasarkan kondisi awal dari pemberi tugas, misalnya, seorang yang tidak ada masalah dengan biaya, maka biasanya konsultan rumah berangkat membuat Rumah dari disain, tidak ada batasan mengenai biaya, yang penting disain dari si konsultan arsitek sesuai dengan yang di inginkan
Tapi berbeda ketika jasa arsitek di hadapkan oleh pemberi tugas, dimana pemberi tugas memakai jasa arsitektur konsultan berangkat dari buget yang tersedia, atau keterbatasan dana, maka konsultan arsitektur tersebut harus bisa memberikan solusi yang tepat agar impian pemberi tugas tetap bisa terwujud, walaupun dengan konsekwensi konsekwensi tertentu.
Seorang konsultan desain justru akan memberikan gambaran yang sejelas – jelasnya tentang disain dan biaya yang akan dikeluarkan nanti, justru dengan memakai jasa konsultan rumah kita sebisa mungkin menghindari pekerjaan pekerjaan yang nantinya akan menimbulkan pemborosan, bongkar pasang akibat dari perencanaan yang kurang matang sebelumnya, yang jika di bandingkan dengan jasa yang harus di bayar untuk seorang arsitek konsultan justru lebih besar, belum lagi hasil disain yang mungkin kita tidak puas.
Dengan memakai jasa seorang konsultan arsitek, maka kita bisa melihat hasil akhir dari disain dengan bantuan sketsa – sketsa disain atau karena kemajuan teknologi saat ini, kita bisa juga melihat hasil akhir dari disain persis seperti aslinya dengan bantuan animasi komputer.
Kontraktor Pelaksana adalah badan hukum atau perorangan yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan proyek sesuai dengan keahliannya.  Atau dalam definisi lain menyebutkan bahwa pihak yang penawarannya telah diterima dan telah diberi surat penunjukan serta telah menandatangani surat perjanjian pemborongan kerja dengan pemberi tugas sehubungan dengan pekerjaan proyek. Pada Proyek ‘tempat penulis kerja praktek’ ini, pemilik proyek (owner) memberikan kepercayaan secara langsung kepada kontraktor pelaksana untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Peraturan dan persetujuan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak diatur dalam dokumen kontrak.
Kontraktor bertanggung jawab secara langsung pada pemilik proyek (owner) dan dalam melaksanakan pekerjaannya diawasi oleh tim pengawas dari owner serta dapat berkonsultasi secara langsung dengan tim pengawas terhadap masalah yang terjadi dalam pelaksanaan. Perubahan desain harus segera dikonsultasikan sebelum pekerjaan dilaksanakan.
Kontraktor sebagai pelaksana proyek tentunya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya, antara lain adalah sebagai berikut.
TUGAS KONTRAKTOR
Melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan dan spesifikasi yang telah direncanakan dan ditetapkan didalam kontrak perjanjian pemborongan.
Memberikan laporan kemajuan proyek (progress) yang meliputi laporan harian, mingguan, serta bulanan kepada pemilik proyek yang memuat antara lain:
  1. Pelaksanaan pekerjaan.
  2. Prestasi kerja yang dicapai.
  3. Jumlah tenaga kerja yang digunakan.
  4. Jumlah bahan yang masuk.
  5. Keadaan cuaca dan lain-lain.
Menyediakan tenaga kerja, bahan material, tempat kerja, peralatan, dan  alat pendukung lain yang digunakan  mengacu dari spesifikasi dan gambar yang telah ditentukan dengan memperhatikan waktu, biaya, kualitas dan keamanan pekerjaan.
Bertanggungjawab sepenuhnya atas kegiatan konstruksi dan metode pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jadual (time schedule) yang telah disepakati.
Melindungi semua perlengkapan, bahan, dan pekerjaan terhadap kehilangan dan kerusakan sampai pada penyerahan pekerjaan.
Memelihara dan memperbaiki dengan biaya sendiri terhadap kerusakan jalan yang diakibatkan oleh kendaraan proyek yang mengangkut peralatan dan material ke tempat pekerjaan.
Kontraktor mempunyai hak untuk meminta kepada pemilik proyek sehubungan dengan pengunduran waktu penyelesaian pembangunan dengan memberikan alasan yang logis dan sesuai dengan kenyataan di lapangan yang memerlukan tambahan waktu.
Mengganti semua ganti rugi yang diakibatkan oleh kecelakaan sewaktu pelaksanaan pekerjaan, serta wajib menyediakan perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan.
TUGAS OWNER
Pemilik proyek atau owner adalah seseorang atau instansi yang memiliki proyek atau pekerjaan dan memberikanya kepada pihak lain yang mampu melaksanakanya sesuai dengan perjanjian kontrak kerja untuk merealisasikan proyek, owner mempunyai kewajiban pokok yaitu menyediakan dana untuk membiayai proyek.:mrgreen: berikut penjelasan mengenai tugas dan wewenang owner dalam pelaksanaan proyek konstruksi bangunan.
Tugas pemilik proyek atau owner :
  1. menyediakan biaya perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan proyek.
  2. Mengadakan kegiatan administrasi proyek.
  3. Memberikan tugas kepada kontraktor atau melaksanakan pekerjaan proyek.
  4. Meminta pertanggung jawaban kepada konsultan pengawas atau manajemen konstruksi ( MK )
  5. Menerima proyek yang sudah selesai dikerjakan oleh kontraktor.
Wewenang yang dimiliki pemilik proyek atau owner :
  1. Membuat surat perintah kerja ( SPK )
  2. Mengesahkan atau menolak perubahan pekerjaan yang telah direncanakan.
  3. Meminta pertanggungjawaban kepada para pelaksana proyek atas hasil pekerjaan konstruksi.
Memutuskan hubungan kerja dengan pihak pelaksana proyek yang tidak dapat melaksanakan pekerjaanya sesuai dengan isi surat perjanjian kontrak. misalnya pelaksanan pembangunann dengan bentuk dan material yang tidak sesuai dengan RKS.
Dalam melaksanakan pembangunan seorang pemilik proyek dapat meminta konsultan pengawas atau manajemen konstruksi untuk mengatur agar proyek dapat berjalan dengan baik, sehingga owner tidak perlu repot memantau setiap saat dan secara detail tentang bangunan yang dibangun. namun owner dapat membuat jadwal rapat mingguan atau bulanan untuk membahas proyek agar sesuai dengan cita-cita dan keinginan yang diharapkan pemilik proyek. misalnya suatu kali owner menginginkan adanya perubahan desain dalam hal tambah kurang pekerjaan seperti penambahan ruangan atau pengurangan bentuk bangunan pada bagian tertentu namun tetap berpedoman pada kontrak kerja konstruksi yang dibuat bersama kontraktor sebelum memulai kegiatan pelaksanaan pembangunan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Dalam memilih kontrakor mana yang akan diajak bekerja sama dalam membangun sebaiknya menyesuaikan kualitas dan grade kontraktor agar dapat mewujudkan bangun berkualitas maksimal, harga murah dan dalam waktu yang cepat. proses tendher atau lelang proyek dapat dilakukan untuk dapat memilih kontraktor terbaik yang akan dipilih untuk menyelesaikan pembangunan



undang undang pranata pembangunan

 UNDANG-UNDANG PRANATA PEMBANGUNAN

1.1 TATA HUKUM KEBIJAKAN NEGARA
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.
Kebijakan negara diperuntukkan untuk kepentingan negara. Contoh: kebijakan moneter negara, kebijakan luar negeri, dll. Menurut James E Anderson ( dalam Islamy,2004 : 19) kebijaksanaan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah :
1) Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2) Bahwa kebijaksanaan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;
3) Bahwa kebijaksanaan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;
4) Bahwa kebijaksanaan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalamartimerupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan
5) Bahwa kebijaksanaan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu dilandasi pada peraturan-peraturanperundangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
1.2  PERATURAN PEMERINTAH DAN PERDA
  1. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hirarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
  1. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas:
  • Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
1.3 UNDANG – UNDANG NO.24 TAHUN 1992 TENTANG TATA RUANG
UMUM
  1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai jika didasarkan atas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Keyakinan tersebut menjadi pedoman dalam penataan ruang.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan batiniah, akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh karena itu, ruang harus dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.
  1. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
Laut sebagai salah satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas wilayah. Akan tetapi, kalau ruang dikaitkan dengan pengaturannya, maka haruslah jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan.
Secara geografis letak dan kedudukan negara Indonesia sebagai negara kepulauan adalah sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya adalah sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropisnya.
Dengan demikian, ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Dengan kata lain wawasan penataan ruang wilayah negara Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
  1. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.
  1. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang menurut batasan administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidak lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.
  1. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang. Untuk itu, undang-undang tentang penataan ruang ini memiliki ciri sebagai berikut:
  2. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.
  3. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat sehingga dapat lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi pembangunan.
  4. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.
  5. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut.
Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan, perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya dengan memperhatikan di antaranya:
  1. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942) jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3084);
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419;
  3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3475).
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat terangkum dalam satu sistem hukum penataan ruang Indonesia.
1.4  UNDANG – UNDANG NO. 4 TAHUN 1992 TENTANG PERMUKIMAN
Menimbang:
  1. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak,
sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor
penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  1. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi
setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari
pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana,
dan berkesinambungan;
  1. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai
aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud
tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu
menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
  1. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan keadaan, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-undang yang baru;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga;
  1. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
  1. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
  1. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan
penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur;
  1. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
  1. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya;
  1. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
  2. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan
perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan
sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah Khusus lbukota Jakarta;
  1. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun
ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain
itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang;
  1. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan
pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan; 11. Konsolidasi tanah permukiman adalah
upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah
melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah
matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Pasal 2
  • Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
  • Lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya, sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan Untuk:
  1. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
  1. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur;
  1. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional;
  2. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial , budaya, dan bidang-bidang lain.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar
yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk:
  1. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman;
  2. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah
ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan
transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan
kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah
menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah
perkotaan dan rencana tata ruang wilayah. bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai
kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan:
  1. rencana tata ruang yang rinci;
  2. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah;
  3. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana
lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh badan usaha milik negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk
itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik negara dan/atau badan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerja sama dengan badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang pembangunan
perumahan.
(5) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggung jawab
badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tatacara kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh
masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk
oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan
bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu
melakukan konsolidasi tanah data rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat
dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi
tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum
berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan
hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang
pembangunan perumahan wajib:
  1. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan
pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
  1. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan
mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
  1. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
  2. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di
sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
  1. melakukan penghijauan lingkungan;
  2. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
  3. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi
tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi
kegiatan-kegiatan:
  1. pematangan tanah;
  2. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
  3. penyediaan prasarana lingkungan;
  4. penghijauan lingkungan;
  5. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud data ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang
menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang
pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah
matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik
masyarakat dapat diperjualbelikan belikan tanpa rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap
perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta, melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kegiatan-kegiatan:
  1. perbaikan atau pemugaran;
  2. peremajaan;
  3. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang
tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program
peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.


 

 

UNDANG-UNDANG PRANATA PEMBANGUNAN

1.1 TATA HUKUM KEBIJAKAN NEGARA
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.
Kebijakan negara diperuntukkan untuk kepentingan negara. Contoh: kebijakan moneter negara, kebijakan luar negeri, dll. Menurut James E Anderson ( dalam Islamy,2004 : 19) kebijaksanaan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah :
1) Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2) Bahwa kebijaksanaan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;
3) Bahwa kebijaksanaan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;
4) Bahwa kebijaksanaan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalamartimerupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan
5) Bahwa kebijaksanaan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu dilandasi pada peraturan-peraturanperundangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
1.2  PERATURAN PEMERINTAH DAN PERDA
  1. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hirarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
  1. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas:
  • Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
1.3 UNDANG – UNDANG NO.24 TAHUN 1992 TENTANG TATA RUANG
UMUM
  1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai jika didasarkan atas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Keyakinan tersebut menjadi pedoman dalam penataan ruang.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan batiniah, akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh karena itu, ruang harus dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.
  1. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
Laut sebagai salah satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas wilayah. Akan tetapi, kalau ruang dikaitkan dengan pengaturannya, maka haruslah jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan.
Secara geografis letak dan kedudukan negara Indonesia sebagai negara kepulauan adalah sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya adalah sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropisnya.
Dengan demikian, ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Dengan kata lain wawasan penataan ruang wilayah negara Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
  1. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.
  1. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang menurut batasan administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidak lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.
  1. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang. Untuk itu, undang-undang tentang penataan ruang ini memiliki ciri sebagai berikut:
  2. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.
  3. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat sehingga dapat lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi pembangunan.
  4. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.
  5. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut.
Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan, perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya dengan memperhatikan di antaranya:
  1. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942) jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3084);
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419;
  3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3475).
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat terangkum dalam satu sistem hukum penataan ruang Indonesia.
1.4  UNDANG – UNDANG NO. 4 TAHUN 1992 TENTANG PERMUKIMAN
Menimbang:
  1. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak,
sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor
penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  1. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi
setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari
pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana,
dan berkesinambungan;
  1. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai
aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud
tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu
menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
  1. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan keadaan, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-undang yang baru;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga;
  1. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
  1. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
  1. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan
penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur;
  1. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
  1. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya;
  1. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
  2. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan
perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan
sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah Khusus lbukota Jakarta;
  1. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun
ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain
itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang;
  1. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan
pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan; 11. Konsolidasi tanah permukiman adalah
upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah
melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah
matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Pasal 2
  • Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
  • Lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya, sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan Untuk:
  1. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
  1. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur;
  1. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional;
  2. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial , budaya, dan bidang-bidang lain.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar
yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk:
  1. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman;
  2. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah
ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan
transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan
kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah
menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah
perkotaan dan rencana tata ruang wilayah. bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai
kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan:
  1. rencana tata ruang yang rinci;
  2. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah;
  3. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana
lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh badan usaha milik negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk
itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik negara dan/atau badan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerja sama dengan badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang pembangunan
perumahan.
(5) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggung jawab
badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tatacara kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh
masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk
oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan
bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu
melakukan konsolidasi tanah data rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat
dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi
tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum
berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan
hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang
pembangunan perumahan wajib:
  1. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan
pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
  1. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan
mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
  1. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
  2. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di
sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
  1. melakukan penghijauan lingkungan;
  2. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
  3. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi
tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi
kegiatan-kegiatan:
  1. pematangan tanah;
  2. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
  3. penyediaan prasarana lingkungan;
  4. penghijauan lingkungan;
  5. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud data ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang
menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang
pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah
matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik
masyarakat dapat diperjualbelikan belikan tanpa rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap
perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta, melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kegiatan-kegiatan:
  1. perbaikan atau pemugaran;
  2. peremajaan;
  3. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang
tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program
peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.